Rabu, 28 November 2012

Gara-Gara Loper Koran Jadi Suka Baca

          Aku nggak pernah menyangka suatu saat, harus menjadi loper koran. Apalagi aku seorang cewek yang seharusnya bersikap feminim. Tapi nyatanya aku seorang cewek yang terbilang terlalu tomboy namun anehnya rambutku saat itu panjang banget loh. hehehe (berarti masih ada sisi feminimnya).
Orang tuaku maksudnya papa kerja sebagai loper koran di sebuah toko Salam. Pemiliknya bernama pak Salam dan aku selalu memanggilnya datuk Salam. 
         Awalnya aku kasihan melihat papa, yang sudah tua harus keliling mengantar koran pagi dan sore, terkadang terkena hujan dan teriknya matahari. Kalau aku perhatikan kening papa belang yang tertutup sama topi berwarna putih dan selebihnya hitam. aku mulai membujuk papa, untuk sekedar ikutan dan akhirnya keterusan menjadi loper koran cewek satu-satunya di kota kelahiranku yaitu Curup.
          Disaat sering mengambil koran di toko Datuk Salam. Aku menemukan dunia baru, yah.. dunia membaca yang selama ini tak terlalu aku sukai. Sembari aku menunggu koran tiba, iseng-iseng aku membaca beberapa cerita. Dan terus berlanjut hingga aku sering datang lebih awal hanya untuk membaca majalah BOBO dan DONAL BEBEK. Ternyata  asiknya aku membaca, mencuri perhatian Datuk Salam, hingga dia mengeluarkan koleksi bukunya. WAW... keren banget kumpulan puisi hingga sajak-sajak indah tapi sayang aku tak diizinkan untuk membawa pulang buku itu. Alhasil setiap hari membaca di toko bukunya. Sembari menemani dia menjaga tokonya.
         Oh ya.. aku menjual koran bukan seperti mereka yang berada dipinggiran atau jalan-jalan raya


tapi ini bukan aku ya..


         Aku sebagai pengantar koran  dari rumah ke rumah, yang sudah berlangganan tetap. Tapi kerjaku harus mengetuk pintu rumah satu persatu, agar koran itu tiba di tangan pelanggan dengan baik. Bukan seperti yang sekarang koran cukup dilemparkan saja tanpa tahu baik atau buruk kondisi koran tersebut. Bila dibilang nggak sopan.
         Berawal dari sanalah aku mulai melentikkan jemari dalam  syair-syair yang teramat sangat sederhana (STSS) yang kemudian sering aku ikut lombakan dan membacanya di depan orang banyak. Kalian pasti mau tahu siapa yang mengajarkan aku membaca puisi, tak lain tak bukan ya papaku sendiri. Karena sewaktu masi bujang, papa adalah seorang penyair dan pemain sandiwara. Tapi sayang papa, pernah bilang niatnya untuk menulis puisi-puisinya agar bisa dibukukan hanyalah sebagian dari mimpi tidurnya. Karena dia tahu betul itu tidak akan terujud saat penjajah Belanda masih berkuasa.
bersambung......








Tidak ada komentar:

Posting Komentar