Rabu, 09 Mei 2012

IMPIAN KASOGI


IMPIANKU KASOGI

By: Asni Ahmad Sueb


Pasti gagah kalau memakai sepatu itu!
Tomboyku pasti tambah greget!
          Impian untuk memiliki sepatu itu, terus membayang dipelupuk mata. Saat mata tertuju di kaki seorang sahabat, warna hitam , ada lis putih dan merah, keren habis. Tapi itu hanya ada dalam angan-angan, tak mungkin  mampu membelinya, harganya terlalu mahal untuk kantong keluargaku yang hanya seorang anak loper Koran . Namun aku tak dapat tidur, terus saja sepatu itu menari dipelupuk mata.
          Sore itu sepulang sekolah, aku mencoba memasuki toko sepatu yang menjual sepatu dambaan. Lama mematung di estalase sepatu, berguman dalam hati, “Kapan dapat menggunakan sepatu itu? Mampukah  untuk membelinya? Diam ku mengundang curiga salah seorang penjaga toko, dia mendekat dan berkata,”Kenapa mau beli ya, harganya Rp 60.000.” aku hanya menggeleng kepala sembari bilang,” Nggak uda, cuma mau lihat-lihat saja.” Sembari berlalu dari toko sepatu itu. Bagaimana caranya  agar aku mendapatkan dan bisa memakainya ya? “Minta sama mama, rasanya tidak mungkin dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, tapi aku harus bilang sama mama, kalau tidak aku bisa mati penasaran dengan sepatu itu,”
          Sudah kebiasaan kalau menginginkan sesuatu, aku pasti mengerjakan pekerjaan di rumah, sebelum di perintah. Dan sore itu aku sudah membersihkan rumah, mengepel, mencuci baju serta menstrika pakaian. Sembari menunggu mama pulang dari kerja. “Jantungku berdegup, berdebar-debar! Ada rasa takut, takut di marahi! Takut dianggap anak yang nggak tahu diri,” aku harus berani mengungkapkan apa yang aku inginkan bagaimana pun caranya.
          Aku mendekati mama sembari memijat pundaknya, belum sempat berkata, mama telah mendahului bertanya,”Ada apa? Cerita saja,” aku memberanikan diri buat cerita ke mama,”Ma, Aan mau beli sepatu yang lagi trend sekarang, harganya Rp 60.000,” ujarku serasa berbisik. Tiada jawaban dari mama, ah… alamat mama tak merestui aku untuk membeli sepatu dengan seharga beli beras untuk satu bulan. Aku harus melupakan keinginan untuk mempunyai sepatu itu.
           Sepulang sekolah, aku di panggil mama, aku menyegerakan diri mendekati mama. Sudah menjadi kebiasaan kalau di panggil mama atau siapa saja, aku akan menyegerakan diri untuk mendekat walau terkadang aku lelah.”Ada apa ma,” nafasku masih tersengal-sengal, kecapean pulang sekolah jalan kaki. Suara lembut mama selalu membuat hatiku merasa tenang bila berada di dekat mama. “Mau beli sepatu,” ya ujarku dengan senyum mengembang. Sembari menyodorkan sekantong bahan kue, aku heran kenapa dikasih sekantong bahan kue bukan uang untuk membeli sepatu. Setelah mama menjelaskan panjang lebar, aku baru memahami, bahwa aku harus membuat kue dan di jual atau dititipkan ke warung-warung dan kantin sekolah. Demi sepatu yang aku idamkan apa pun itu harus aku jalani.
          Setelah sholat subuh, aku memulai membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung dan juga kantin sekolah. Aku tak menyangka, bahwa kue buatanku banyak yang menyukai. Setiap hari empat macam kue yang aku buat dan setiap hari kue yang aku buat harus berbeda-beda agar pembeli tak bason dengan kueku. Di awal menjalaninya memang terasa lelah dan capek namun semua tak pernah aku rasakan demi sebuah sepatu.
Tak terasa lima bulan sudah aku berjualan kue, dan sepertinya uang yang aku dapati cukup sudah untuk membeli sepatu yang aku idamkan, bahkan masih tersisa untuk aku tabung. Senang rasanya aku dapat membeli sepatu yang aku idamkan dari dulu, Hm …aku pasti gagah memakainya dan pasti ketomboyanku semakin ketara hehehe. Seneng rasanya.
         Sepulang sekolah, aku menuju ke toko sepatu yang hanya satu-satunya menjual sepatu Kasogi idamanku. Sesampai di sana aku menuju estalase, dan memilih mana yang aku suka, tapi sayang, ternyata aku telat satu langkah sepatu yang aku idamkan telah berganti dengan sepatu lain yang lebih mahal dari sepatu Kasogi.  Aku berlalu dari toko tersebut, dengan lesuh sembari menundukkan kepala. Kakiku terasa berat, ah terlambat keinginanku tak dapat terpenuhi. Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil, kutoleh kebelakang, bukan kah itu penjaga toko sepatu tadi. Aku mendekat sembari berkata, “nggapo uda,” adik mau sepatu Kasogi itu ya, aku hanya menganggukan kepala dengan tak bersemangat. “Sepatu itu masih tersisa satu tapi sedikit cacat, kalau mau uda bisa memberikan diskon buat sepatu itu,”aku cepat-cepat menganggukan kepala, menyetujuinya, toh membeli sepatu yang mahal tadi uangku tak cukup. Walau sedikit cacat sepatu yang aku idamkan telah terpasang di kaki jenjangku.
         Ternyata cacat sepatu itu tak terlihat setelah di kenakan. Alhamdulilah aku dapat meujudkan impian dengan hasil keringatku sendiri tanpa merepoti dan memberatkan kedua orang tuaku. Setelah aku renungi ada hikma yang bisa aku petik dari keinginan, menjual kue dan sepatu yang cacat. Dari semua itu aku diuji sebuah kesabaran, sabarkah aku untuk menggapai dan meujudkan sebuah impian, sanggupkah aku bekerja hingga lelah untuk meujudkan impian itu tanpa merepotkan dan memberatkan kedua orang tua, mengenai sepatu yang cacat, tak ada manusia yang sempurna pasti ada yang tak sempurna. Betapa pun kerasnya kehidupan itu mesti kita jalani. Apa yang orang tua beri bukanlah sebuah kebencian namun sebagai tanda cinta mereka. Mengajarkan kita untuk lebih mandiri, tak bergantung pada orang lain.
          Hingga sekarang kenanganku untuk mendapatkan sepatu Kasogi itu masih tetep melekat dalam ingatan, dan terbawa hingga aku berkeluarga. Menginginkan sesuatu tak mesti dibeli segera apa lagi ada yang lebih dibutuhkan selain sebuah keinginan. Terima kasih papa dan mama, kalian telah mengajarkanku untuk lebih bersabar dalam menjalani kehidupan, tak bergantung dengan orang lain, lebih mandiri dan menjadi orang yang peka terhadap sekelilingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar